Daán yahya/Republika

Belajar Demokrasi dari Bung Hatta

Melalui ‘Demokrasi Kita’, wakil presiden pertama RI ini menyampaikan kritik dan sekaligus solusi.

Oleh: Hasanul Rizqa

Demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Dalam arti, seluruh rakyat dapat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil mereka. Gagasan ini juga mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

 

Indonesia telah melalui sejarah panjang dalam merawat demokrasi. Sesudah Proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, seluruh elemen bangsa dan negara berjuang mempertahankan kemerdekaan. Barulah sesudah Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan RI sehingga negeri ini dapat berkonsentrasi penuh untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal.

 

Antara tahun 1950 dan 1959, Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal atau demokrasi parlementer. Dalam sistem ini, presiden “hanya” berkedudukan sebagai kepala negara. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri yang memimpin kabinet dan sekaligus bertanggung jawab kepada parlemen.

 

Dasar demokrasi liberal-parlementer di Indonesia kala itu adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Konstitusi ini dinamakan “sementara” karena hanya dipakai selagi menunggu terpilihnya unsur-unsur Konstituante hasil pemilihan umum (pemilu) yang akan menyusun konstitusi baru.

 

Masa demokrasi liberal-parlementer menonjolkan peran partai-partai politik di dewan perwakilan rakyat (DPR). Akibat pergeseran koalisi-koalisi di DPR, periode ini pun ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet-kabinet. Instabilitas politik menimbulkan keresahan, baik di kalangan elite maupun rakyat kebanyakan.

 

Bagaimanapun, pada masa demokrasi liberal-parlementer Indonesia sukses menggelar pemilu pertama pada 1955. Bahkan, Pemilu 1955 dianggap sebagai pemilihan umum paling sukses di RI hingga saat ini. Ada empat partai pemenang pesta demokrasi tersebut, yakni berturut-turut Partai Nasional Indonesia (8,4 juta suara), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (7,9 juta suara), Partai Nahdlatul Ulama (7 juta suara), dan Partai Komunis Indonesia (6 juta suara).

 

Konstituante hasil Pemilu 1955 mulai bekerja sejak 10 November 1956 untuk membuat konstitusi pengganti UUDS 1950. Namun, beberapa tahun berselang, pekerjaan mereka tak kunjung tuntas. Dalam pidato pada 22 April 1959, presiden Sukarno menganjurkan sidang Konstituante agar kembali kepada UUD 1945.

 

Pada 30 Mei 1959, Konstituante menggelar voting. Hasilnya, sebanyak 269 suara menyetujui UUD 1945, sedangkan 199 suara menyatakan tidak setuju. Meskipun demikian, pemungutan suara ini mesti diulang karena jumlah keseluruhan tidak memenuhi kuorum.

 

Voting kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Namun, dalam dua hari itu Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kebuntuan, pada 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses. Letjen AH Nasution selaku kepala staf Angkatan Darat atas nama Penguasa Perang Pusat kemudian mengeluarkan peraturan yang melarang kegiatan-kegiatan politik.

 

Pada 16 Juni 1959, ketua umum PNI bersurat kepada presiden Sukarno agar mengeluarkan dekret. Pada 5 Juli 1959, Bung Karno menetapkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959. Dengan beleid itu, konstitusi RI berganti dari UUDS 1950 ke UUD 1945, dan Konstituante pun dibubarkan.

 

Dekrit Presiden 1959 tidak hanya menyebabkan kembalinya UUD 1945. Sejak itu hingga awal 1960-an, Indonesia pun praktis memasuki masa otoritarianisme. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) bahkan sempat menobatkan Bung Karno sebagai “presiden seumur hidup” pada 1963.

dok wikipedia

Hatta, sang penyeimbang

 

Sukarno dan Mohammad Hatta adalah kawan seperjuangan. Satu sama lain saling respek dan menghargai. Teks Proklamasi Kemerdekaan RI, yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, bertanda tangan keduanya, atas nama bangsa Indonesia.

 

Pada masa penjajahan Belanda, keduanya memulai perjuangan dalam jalan masing-masing. Hatta berjuang di negeri Belanda sembari menuntut ilmu. Pada 1926, tokoh berdarah Minangkabau ini menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Adapun Sukarno pada 1927 mendirikan PNI bersama enam kawannya dari Algemeene Studieclub. Keduanya memperjuangkan Indonesia di dua tempat yang berbeda, tetapi bertujuan luhur yang sama: Indonesia merdeka.

 

Segera setelah pembacaan Proklamasi RI 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta terpilih dengan suara bulat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya—yang populer dengan sebutan Dwitunggal—memimpin negeri ini melewati masa-masa genting 1945-1949. Mereka mengisi kekurangan satu sama lain. Sukarno bertindak selaku orator unggul dengan kemampuan hebatnya dalam menarik massa. Adapun Hatta melengkapinya dengan kemampuan manajerial dan perencanaan yang baik, layaknya seorang pemikir dan intelektual sejati. Bila Bung Karno lekat dengan citra sebagai Muslim abangan, maka Bung Hatta menampilkan watak Muslim ortodoks.

 

Sayangnya, Dwitunggal yang saling melengkapi ini kemudian retak dan bahkan tak lagi bersatu. Menurut sejarawan Prof Taufik Abdullah, seperti dilansir Pusat Data Republika, hubungan Bung Karno dan Bung Hatta merenggang lantaran perbedaan prinsipil yang kian mengemuka sejak masa demokrasi liberal-parlementer.

 

"Dalam sistem demokrasi dan menurut UUDS 1950, sistem kita saat itu parlementer. Presiden hanya kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Nah, Sukarno sering campur-campur (urusan pemerintahan). Bung Karno mengatakan dirinya adalah panglima tertinggi," kata Taufik Abdullah.

 

Ambil misal ketika Mohammad Natsir memimpin kabinet. Saat itu, Irian Barat (kini Papua) masih dikuasai Belanda. Bung Karno merasa sangat terganggu. Sebab, menurut Konferensi Meja Bundar (KMB), masalah status Irian Barat semestinya diselesaikan satu tahun sesudah perjanjian pada 1949 tersebut.

 

"Penyerahan Irian Barat (kepada RI) ternyata diundur. Kabinet (Natsir) melaporkan kepada Bung Karno. Dan Bung Karno mencak-mencak, 'Itu harus. Kalau tidak, putus saja hubungan dengan Belanda.' Natsir kemudian mengatakan, 'Bung, dalam konstelasi kita, yang menentukan bukan presiden, melainkan kabinet.' Bung Karno kaget. Barulah setelah itu Sukarno-Natsir merenggang," papar Taufik.

dok picryl

Sejarawan ini menuturkan, retaknya hubungan Dwitunggal pun serupa dengan merenggangnya Bung Karno dan Natsir. Sebagai wakil presiden, Hatta kerap menegur—tidak di depan umum—Sukarno yang kerap ikut campur di kabinet-kabinet.

 

Turut campurnya Sukarno di pemerintahan pada era demokrasi liberal-parlementer memuncak usai Pemilu 1955. Ketika itu, kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh. Kemudian, Bung Karno berinisiatif menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet-yang-baru.

 

“Istilahnya Bung Karno, menunjuk seorang warga negara yang bernama Sukarno menjadi formatur kabinet. Nah, bagi Bung Hatta, ini tak bisa. Jadi, daripada bertengkar, lebih baik Bung Hatta meletakkan jabatan," kata Taufik.

 

Mengapa Sukarno tidak ingin menjadi sebatas kepala negara yang tanpa kekuasaan eksekutif langsung? Sebab, sosok berjulukan “penyambung lidah rakyat” ini berpandangan bahwa revolusi Indonesia saat itu belum selesai. Imbasnya, kebijakan Bung Karno cenderung mengabaikan pembangunan. Sebaliknya, Bung Hatta melihat bahwa revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan RI.

 

Menurut I Wangsa Widjaya dalam buku Mengenang Bung Hatta, sang wakil presiden pertama RI meletakkan jabatan bukan hanya dikarenakan tindakan-tindakan Bung Karno yang sering menyimpang. Alasan lainnya adalah keadaan pemerintahan dewasa itu pada masa demokrasi liberal-parlementer. Parpol-parpol kerap saling bertengkar secara tidak sehat karena banyak politikus condong bersikap sebagai petugas partai, alih-alih negarawan. Sementara, parpol yang berkuasa lebih mementingkan aspirasi politiknya sendiri ketimbang kepentingan bangsa dan negara.

 

Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden RI pada 1 Desember 1956. I Wangsa Widjaya mengatakan, perhatian dan sumbangsih Hatta tidak lantas berhenti sesudah tokoh ini kembali menjadi warga biasa. Suami Ny Rachmi ini terus menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi persatuan bangsa.

 

Misalnya, ketika pecah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958, Bung Hatta telah sekuat tenaga mengusahakan perdamaian antara daerah-daerah dan pusat. Indonesia, katanya, tidak boleh pecah. Namun sayang, Sukarno yang saat itu terlanjut mengecap PRRI sebagai “pemberontakan” mengirimkan pasukan tempur ke daerah-daerah kantong PRRI, termasuk Sumatra Barat. Padahal, PRRI sejatinya adalah gerakan anti-pemerintah pusat belaka, tak bermaksud memisahkan diri dari RI. Yang dituntut ialah bahwa Sukarno kembali taat pada konstitusi dengan membentuk suatu zaken kabinet nasional, bukan malah menunjuk diri Bung Karno sendiri sebagai formatur kabinet.

Menurut Hatta, demokrasi asli Indonesia sudah lama tumbuh di perdesaan, jauh sebelum Belanda datang menjajah negeri ini.

“Demokrasi Kita”

 

Memasuki tahun 1960, keadaan Indonesia kian kacau. Perekonomian melesu drastis. Harga-harga barang kebutuhan pokok membumbung tinggi. Uang yang beredar pada 1960 dibanding dengan 10 tahun sebelumnya adalah 11 kali lipat. Bahkan, inflasi kian menggila dari tahun ke tahun: 1961 (16 kali lipat), 1962 (32 kali lipat), 1963 (61 kali lipat), 1964 (146 kali lipat), dan 1965 (512 kali lipat)!

 

Sejak Dekrit Presiden 1959, Sukarno justru memasifkan indoktrinisasi untuk tujuan revolusi Indonesia. Bung Karno mencanangkan apa yang disebutnya “Manifesto Politik dan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia” (Manipol-Usdek). Itu disusul pula dengan konsep “Nasionalis-Agama-Komunis” (Nasakom). Semuanya dipaksakan untuk diterapkan oleh seluruh warga serta di tiap kegiatan bernegara dan bermasyarakat.

 

Mohammad Hatta menulis pamflet yang berjudul “Demokrasi Kita.” Tulisannya ini kemudian dimuat dalam majalah Pandji Masyarakat yang diasuh Buya Hamka pada 1 Mei 1960.

 

Penerbitan “Demokrasi Kita” mendapat respons luas di tengah masyarakat karena isinya membedah dengan tajam otoritarianisme Sukarno pada masa itu. Tentunya, Bung Karno bersikap keras. Bahkan, sang “pemimpin besar revolusi” kemudian membreidel Pandji Masyarakat, tiga bulan sesudah majalah ini menyiarkan tulisan Hatta itu.

 

Secara keseluruhan, artikel “Demokrasi Kita” terdiri atas 10 bagian. Tulisan ini dibuka dengan kritik Bung Hatta atas Dekrit Presiden 1959. Dengan beleid itu, Bung Karno telah melakukan tindakan nirdemokratis, semisal membubarkan DPR hasil pemilu dan mengisi DPR “baru”—yang disebutnya DPR Gotong Royong—dengan banyak anggota yang ditunjuknya sendiri. “Semua anggota ditunjuk oleh Presiden. Anggota-anggota partai politik yang 130 orang itu sebagian besar dipilihnya sendiri dari anggota-anggota DPR yang bersidang sampai sekarang, dengan menyingkirkan sama sekali anggota-anggota yang termasuk golongan oposisi,” tulis Hatta.

 

Sukarno bermaksud mengganti demokrasi liberal-parlementer dengan apa yang dinamakannya Demokrasi Terpimpin. Hatta melihat, Demokrasi Terpimpin pada praktiknya mengebiri atau bahkan menafikan sama sekali fungsi parlemen sebagai pengawas pemerintah. Dalam sistem ini, DPR semata-mata bertugas memberikan dasar hukum kepada keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. “Demokrasi Terpimpin Sukarno menjadi suatu diktator yang didukung oleh golongan-golongan tertentu,” kritik Hatta.

 

Tokoh kelahiran 12 Agustus 1902 itu pun menekankan, saat ini terjadi krisis demokrasi. Namun, lanjutnya, hendaklah dipahami bahwa demokrasi tidak lantas lenyap dari bumi Indonesia. Dalam rumusan Hatta: “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan.”

 

Sebab, lanjut dia, demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi di negara-negara lain. Di Tanah Air tercinta, demokrasi berurat-berakar di dalam pergaulan hidup rakyat. “Sebab itu, ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya,” tegas Hatta.

dok republika

Demokrasi menjadi sakit bila tidak ada rasa tanggung jawab dan toleransi dalam diri pemimpin-pemimpin poltik. Hatta menyayangkan bahwa dua hal urgen itu kini tidak sekuat dahulu ketika seluruh elemen bangsa berusaha menuju Indonesia merdeka dan mempertahankan kemerdekaan RI, sesudah Proklamasi 1945 hingga pengakuan kedaulatan.

 

Hatta juga mengkritik kelemahan-kelemahan dalam masa demokrasi liberal-parlementer. Menurut dia, di negeri-negeri yang sudah lama menjalankan demokrasi tipe ini pun masih terdapat perbuatan menyalagunakan kekuasaan. Apalagi bila itu diterapkan di negara yang masih muda seperti Indonesia.

 

Ketika kabinet terbentuk, maka pihak-pihak yang menjadi partai pemerintah tanpa malu-malu “membagi-bagi rezeki”, yakni jabatan kepada golongannya sendiri. Kepentingan masyarakat umum pun terlalaikan.

 

Alih-alih bekerja untuk rakyat, menteri justru memandang diri terutama sebagai petugas partai, yang bertindak demi menguntungkan  parpol tempatnya bernaung. “Seorang menteri perekonomian, misalnya, menjalankan tugasnya itu dengan memberikan lisensi dengan bayaran tertentu untuk kas partainya. … Keperluan uang untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu,” tulis Hatta.

 

Dalam suasana demikian, maraklah kemunculan para petualang politik. Yang maju ke muka adalah para pengejar rente. Kepentingan nasional menjadi sebatas retorika atau dalih untuk mencapai kepentingan mereka dan parpol-parpolnya. Korupsi dan demoralisasi merajalela. “Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya (demokrasi): diktator,” kata Hatta.

 

Alumnus Erasmus University Rotterdam Belanda itu mengingatkan kembali, demokrasi yang ideal di Indonesia bukanlah demokrasi Barat, yang terinspirasi dari Revolusi Prancis (1789). Sebab, sistem itu memang mengakui prinsip kesamaan, tetapi hanya dalam bidang politik: setiap orang berhak memilih dan dipilih menjadi pemimpin. Pada saat yang sama, prinsip kesamaan tidak tampak dalam bidang ekonomi.

 

Menurut Hatta, demokrasi Barat alih-alih memunculkan persaudaraan yang erat, justru menampakkan jarak antara golongan yang penindas dan yang tertindas. Sebab, sekali lagi, ada ketimpangan: di satu sisi mengagung-agungkan demokrasi politik, tetapi di sisi lain mengabaikan demokrasi ekonomi.

 

“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. … Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” ujar Hatta.

 

Menurut Hatta, demokrasi asli Indonesia sudah lama tumbuh di perdesaan, jauh sebelum Belanda datang menjajah negeri ini. Meski saat itu di Nusantara banyak kerajaan feodal bertumbuhan, demokrasi asli itu terus tumbuh sebagai adat istiadat yang subur di desa-desa.

dok sma maria bhakti bekasi

Demokrasi yang asli Indonesia

 

Sebelum era kolonialisme datang, Indonesia merupakan wilayah yang terdiri atas kerajaan-kerajaan feodal. Meskipun begitu, raja-raja tidak dapat mengabaikan atau meniadakan sistem demokrasi asli Indonesia, yakni yang hidup di dalam desa-desa. “Bukti ini menanam keyakinan bahwa demokrasi Indonesia yang  asli kuat bertahan, liat hidupnya. Seperti kata pepatah Minangkabau, ‘indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan,’” tulis Hatta.

 

Peribahasa itu bermakna bahwa demokrasi desa dapat terus tegar bertahan, seolah-olah “tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan.” Demokrasi desa, yang disebut Hatta sebagai demokrasi asli Indonesia, itu pun tumbuh bukan hanya di Sumatra Barat, melainkan daerah-daerah lainnya.

 

Di Jawa, ada ungkapan “desa mawa tata, negara mawa cara.” Ambil contoh raja Jawa dari abad ke-11, Airlangga, yang naik takhta saat berusia 17 tahun. Pada awal-awal memimpin, penguasa itu menghadapi banyak problem sosial dan politik dari pendahulunya, Dharmawangsa.

 

Airlangga lantas merangkul segenap desa di pesisir dan dataran Jawa yang menjadi wilayah kekuasaannya. Raja tersebut meminta mereka untuk menyepakati hukum adat supaya lebih adil dan membuka diri dalam pergaulan yang lebih luas. Hukum yang telah dihimpun itu lalu dikawal oleh majelis yang disebut Dewan Penjaga Adat. Ini terdiri atas 40 empu atau cendekiawan. Setelah itu, Airlangga memaklumkan hukum kerajaan supaya ditegakkan dengan selalu mengindahkan “konstitusi” hukum adat. Maka, yang terjadi adalah harmoni, bukan pemaksaan penyeragaman dari atas ke bawah (up to bottom).

 

Contoh lain datang dari Sulawesi. Masyarakat Bugis dahulu memiliki tokoh bernama Kajaolalido atau Kajao La Liddong, seorang cendekiawan abad ke-16 sekaligus penasihat raja Bone. Di antara gagasan-gagasannya yang serupa dengan “desa mawa tata, negara mawa cara” di Jawa adalah bahwa “kedaulatan tertinggi adalah hukum adat, bukan sosok individu.”

 

Karena itu, seorang raja mesti memelihara dan mengayomi rakyat. Tidak boleh raja menjadikan rakyat dan harta benda mereka bak kepemilikan pribadi. Tidak ada itu “negara adalah saya” (l’etat c’est moi).

 

Demokrasi yang tumbuh di daerah-daerah Nusantara ini telah eksis sebelum Revolusi Prancis di Eropa. Artinya, bangsa Indonesia telah lama berpikiran maju dan demokratis. Di Benua Biru sendiri, Kode Napoleon yang menjadi dasar hukum tertulis baru muncul pada abad ke-19 M.

 

Mengapa dalam demokrasi desa—yang disebut sebagai demokrasi asli Indonesia—kedaulatan politik dapat bergandengan dengan kedaulatan ekonomi? Hatta menjelaskan, demokrasi asli Indonesia ini kuat bertahan, bahkan di bawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi yang terpenting merupakan milik bersama masyarakat desa. Tanah bukan  kepunyaan raja. “Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain, menjadi budak pekarangan tuan tanah,” tulis wapres pertama RI ini.

 

Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap orang dalam mempergunakan tenaga ekonominya merasa perlu akan persetujuan kaumnya. Lebih lanjut, dari sanalah timbul gotong royong, yakni segala usaha yang berat tidak dikerjakan sendirian oleh orang per orang, melainkan secara bersama-sama. Bahkan, perkara-perkara yang dalam perspektif Barat dianggap privat, semisal mendirikan rumah, pun dilakukan dengan gotong royong di desa-desa Nusantara.

 

Lebih lanjut, Hatta mengungkapkan dua ciri lainnya yang tidak kalah penting dari demokrasi desa sebagai demokrasi asli Indonesia. Kedua karakteristik itu adalah hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja—apabila mereka tak senang lagi hidup di sana.

 

Dahulu, apabila rakyat merasa keberatan dengan peraturan yang diadakan pembesar daerah, maka mereka berbondong-bondong datang ke alun-alun. Kemudian, massa ini lama berdiri dan duduk di muka pekarangan rumah si pembesar. Mereka tidak berbuat apa-apa, tetapi fakta kedatangan mereka jelas mengisyaratkan ketidakpuasan terhadap penguasa.

 

“Ini merupakan demonstrasi secara damai. Tidak sering rakyat Indonesia dahulu yang bersifat sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, apabila mereka sampai berbuat begitu (datang berbondong-bondong), maka itu menjadi pertimbangan bagi penguasa, apakah ia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya,” jelas Hatta.

 

Dalam demokrasi yang diterapkan kini, kiranya protes secara “massal dan damai” itu dapat terjadi di bilik-bilik suara ketika pemilu berlangsung. Rakyat dapat melayangkan protes keras kepada mereka yang pernah menjadi wakil mereka atau pemimpin mereka. Yakni, dengan cara tidak memilih mereka lagi untuk periode ke depan.

 

Bung Hatta mengakui, tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Bagaimanapun, demokrasi desa sebagai dasar atau prinsip dipandang dapat dipakai. “Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan otonomi yang luas di daerah-daerah sebagai cermin dari (prinsip) ‘pemerintahan dari yang diperintah,’” tulisnya.

top